Cari Blog Ini

Selamat datang di Inspirasiku

Realisasi Mimpi = Doa +Optimis + Positif Thingking+ Usaha + Mental Baja :)

Kamis, 24 Maret 2011

Dia tidak tidur




“Gagal lagi” ini adalah kegagalan ku yang lebih dari ke sepuluh kalinya, hingga aku lelah untuk mencobanya kembali.  Setiap aku berusaha keras pasti hasilnya tidak sesuai dengan yang ku harapkan.  Sungguh aku sudah menyerah untuk membuka usaha sekian kalinya. Bukannya keuntungan yang ku dapat justru aku sering mengalami kegagalan. Aku sudah menjual hampir seluruh harta ku untuk mencoba peruntunganku di dunia wira usaha.
Ahhhhhh rasanya aku ingin berteriak mengapa aku tidak pernah diberikan sebuah kesempatan untuk menikmati peruntungan di dunia bisnis. Kini aku harus angkat kaki dari rumah yang telah ku beli dengan hasil kerja kerasnya, sebentar lagi pasti petugas itu datang kembali untuk memperingatkan untuk ketiga kali nya bahwa aku harus meninggalkan rumah karena surat-surat rumah ini ku jaminkan untuk meminjam uang di bank. Kemana aku harus pergi, untuk membawa dua anakku ini. Kadang aku tidak rela dengan apapun yang terjadi untuk hidupku, suamiku meninggal 3 tahun lalu dan meninggalkan rumah ini.
Aku selalu mencoba untuk membuka usaha dengan sedikit harta peninggalan dari suami dahulu. Tetapi kenyataan tak bisa ku raih di depan mata. Setiap kali aku berusaha, setiap kali juga aku mengalami kegagalan. Oh Tuhan apa yang kau ingin kau lakukan padaku. Aku mempunyai dua anak yang harus ku biayai sendiri. Haruskah ke dua anakku juga mengalami hal ini.  Suara telp menggugah lamunanku, suara telepon yang sebenarnya tidak ingin ku dengar yang mengabarkan bahwa dua hari lagi petugas penyitaan akan datang dan dia memberitahu bahwa aku harus siap sedia untuk mengosongkan rumah ini.
Beberapa isi dari rumah ini sudah ku jual untuk kebutuhanku sehari hari. Anakku yang paling kecil yang masih berusia 5 tahun danti sempat menanyakan kepadaku, mengapa aku membereskan barang-barang ini. Sungguh aku tak kuasa memberikan kedua anakku bahwa sebenarnya kita harus meninggalkan rumah yang menjadi kenangan aku dan suamiku. Aku tidak pernah meminta berlebihan, yang penting cukup untuk membesarkan ke dua anakku, tetapi sekali lagi nasib keberuntungan tidak lagi berpihak padaku. 
Setiap kali aku memasukkan sisa barang-barang ini ke kardus, air mata ini tak pernah bisa berhenti untuk menangis. Anakku pertama sesekali menghapus air mata ku dan mengatakan padaku “bu, sabar yah bu. Ani pernah belajar di sekolah kalo kita harus sabar jika menghadapi masalah” aku mencium anakku. Ani dengan umurnya yang 12 tahun tahun sudah tahu dengan masalah ku. Aku berusaha untuk tetap tegar di kedua anakku tetapi tetap saja setegar-tegarnya aku pasti ada saatnya aku mengalami suatu kelelahan dalam menghadapi masalah-masalahku.
Ani tetap membantu ku untuk membereskan semua barangnya untuk masuk ke dalam kardus. Sedangkan danti di sibukkan dengan mainanya, sesekali dia mengalihkan pandangan ke kami. Aku hanya menoleh tersenyum kepadanya, sesekali aku melambaikan tangan kepadanya.  Sedikit pun rencana akan kemana belum terpikir oleh ku, rasanya sungguh aku tak ingin waktu dua hari datang secepatnya. Rasanya aku ingin memperlama hari. “ni, ibu bingung kita harus tinggal dimana” ani  permata hatiku hanya tersenyum kepadaku, dan mengatakan “bu, kita coba yuk bu di rumah nenek”   “Bantu ibu yah nak” Ani menganggukan kepalanya sesekali dia mencium ku. Oh aku sesungguhnya tidak tahu bagaimana aku harus menghadapi hidupku selanjutnya dengan uang hanya seratus ribu di tanganku.
Semua barang-barang telah ku jual, aku tidak tahu bagaimana membesarkan kedua anakku. Mengapa terkadang Tuhan tidak mendengar doa ku. Berkali-kali aku memohon untuk diberikan kemudahan, tetapi justru beraneka macam kesulitan yang aku hadapi.
Oh Tuhan apakah aku harus mempercayai Mu kembali. Mereka membutuhkan hidup selanjutnya, apalagi aku kini di tinggal oleh suamiku. Bagaimana caranya aku bisa membesarkan mereka. Akhirnya hari itu tiba, hari dimana aku harus melangkahkan kaki untuk meninggalkan rumah bersama ke dua anakku.
Hanya dua kardus yang aku bawa yaitu berisi baju-baju dan sedikit mainan yang bisa ku bawa. Aku mencoba kembali ke rumah ibu ku, semoga dia masih bisa menerima ku. Mengingat aku pernah mengecewakan ibu, ketika dia datang ke rumahku. Aku belum sempat melayani ibuku, karena kesibukan usahaku yang menyita waktuku. Sesampai di rumah ibu, aku menangis tersungkur di kaki ibu dan memohon maaf kepadanya. Sungguh aku sudah tak kuat untuk menghadapi semua kegagalan ku ini. Kalo saja aku tidak ingat ke dua anakku mungkin saja aku sudah mengakhiri hidupku. “yu, berdirilah. Ada apa kamu seperti ini?” aku menceritakan semuanya kepada ibu. Ibu akhirnya mau menerimaku untuk tinggal di rumahnya.  “Yu, Kau ambil air wudhu sana, berdoalah agar kau tenang” aku sedikit bertanya apakah sesunggunya doa masih berlaku untukku.
Apakah Tuhan bisa mendengar semua keluhanku? Lalu dimana Tuhan ketika aku sering memohon untuk segala sesuatunya. Setidaknya kepercayaanku terhadap Tuhan hampir saja sirna, kalo ibu tidak mengingatkan aku untuk berdoa. Aku sudah lupa kapan terakhir kalinya, aku bisa mengingat tentang Tuhan.
Mungkin benar apa kata ibu dan anak pertamaku, Tuhan hanya menguji kesabaranku. Ani berkata padaku “Bu, Tuhan tidak pernah tidur kok bu. Pasti akan mendengarkan doa kita kok.” Ani menggandeng tanganku dan mengajakku beribadah. Sehari-hari ani selalu mengingatkan aku agar jangan lupa berdoa.  “Bu, kalo kita berdoa setiap hari pasti Tuhan bisa kasihan sama kita”. Hingga saat itu aku berubah menjadi lebih religus, dan berpasrah diri. Akhirnya doa ku terjawab setelah sekian tahun lamanya, dengan keberhasilan ke dua anakku.
Hadiah yang paling berharga untukku, ketika di umurnya ani yang baru ke 25 tahun tetapi dia bisa mengembalikan rumah yang menjadi peninggalan ayahnya dahulu. Beberapa tahun itu telah berlalu lebih dari 15 tahun sudah aku menghadapi segala hal yang bernama proses kesabaran. Anakku membukakan hati ku untuk selalu sabar dalam menjalani sebuah proses akhir yaitu tahap berpasrah diri.
Inilah buah dari segala kesabaranku, dia menghadiahkan rumah yang pernah menjadi tempat tinggal kami dahulu. Aku menciumnya dan mengatakan terimakasih untuk segala kekuatan yang selalu dia berikan padaku. “Bu, berterima kasihlah kepada Nya, karena Dia tidak pernah tidur satu detik pun” aku tersenyum dan memeluknya.