Seusai sarapan pagi bersama ibu penolong yang akhirnya ku tahu kalo namanya adalah Ana.
Dalam waktu beberapa jam kami menjadi sangat akrab. Ternyata beliau memiliki putra yang baru saja meninggal karena kejadian banjir bandang tersebut. Putra beliau bernama Irvan. Ibu menceritakan betapa sedih hatinya ketika mengetahui putra semata wayangnya itu ternyata juga menjadi korban keganasan dari air bah tersebut. Selama bercerita aku hanya menjadi pendengar yang baik yang bersedia mendengar keluh kesahnya seorang ibu yang kehilangan anak satu-satunya itu. Irvan turut serta menjadi korban bencana tersebut karena pada saat itu irvan menginap di salah satu temanya di wilayah itu karena mengerjakan tugas kuliah. Aku selalu memperhatikan setiap kata yang keluar dari seorang ibu yang merindukan sosok anaknya. Tak jarang ibu ana menitikkan air mata di kala mengingat kembali kejadian itu.
Aku pun bisa merasakan apa yang ibu ana rasakan, karena aku juga tidak tahu dimana keberadaan orang tuaku. Aku pun mulai berani menceritakan kejadian banjir banda tersebut. Padahal sesungguhnya kejadian itu ingin sekali aku lupakan... tapi takdir membawa ku untuk memiliki pengalaman yang sama dengan ibu ana.
Ibu sempat menawarkanku untuk tinggal dalam waktu beberapa hari ke rumahnya untuk menemani nya dalam rasa kesepian.
Sejujurnya aku merasa senang untuk menemaninya karena aku sendiri pun sebenarnya tidak tahu kemana langkah kaki ini akan melangkah.... aku sendiri merasa bingung dan tak pernah mengetahui apa rencana yang ku impikan untuk hidupku selanjutnya.
Bahkan sejujurnya aku tidak berani untuk bermimpi. Aku tidak berani untuk memulai mimpi yang indah karena ini bisa membuatku terjatuh kembali......
Sejenak lamunanku tergugah oleh suaranya yang meminta jawabanku kembali untuk mengatakan "iya". "Bagaimana ri?, kamu juga belum tahu bukan kemana kamu akan pergi. entah angin apa yang membawaku untuk mengatakan "iya". Terpancar dari raut muka ibu ana yang menunjukkan betapa leganya dia ketika mengetahui bahwa aku menyanggupi keinginannya.
Oh Tuhan bawalah ke arah mimpi ku yang lebih baik... ucapku dalam hati..
-----
Matahari perlahan-lahan mulai menghilang dan bulan kini menggantikan tugas nya untuk menyinari kehidupan. Suara pintu di ketuk dari arah depan terdengar sayup-sayup karena berlomba dengan suara hujan rintik-rintik yang terjatuh di atas atap rumah.
Aku beranjak dari kamar untuk membukakan pintu depan. "assalamuikum". "Walaikum sallam jawabku. Seorang pria yang tidak di kenal mendekatiku. Sejujurnya aku tidak tahu siapa pria ini. APakah aku salah membukakan pintu kepada orang asing, dalam lamunanku suara ibu ana terdengar dari belakan. "Oh ayah rupanya sudah pulang." Bapak itu tersenyum kepadaku. "Nak, kamu sudah sehat?". aku kembali membalas senyumnya dan menganggukkan kepala.
"ayah lebih baik mandi dulu dan bergegas untuk makan malam" sesungguh nya aku merasa asing di tengah keluarga seperti ini.
Percakapan mengenai kami di lanjutkan di meja makan. Dengan keputusan yang di buat keluarga ini menganggapku sebagai anak. Segala keperluan sekolah atau kebutuhan hidupku sudah menjadi tanggungan dari keluarga.
Aku menghembuskan nafas lega, ketika mendengar hal ini........
----------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar