Budaya santun yang khususnya diadopsi oleh budaya jawa yang banyak mencerminkan nilai-nilai pribadi yang baik kini tidak lagi bisa kita lihat. Apalagi suku jawa termasuk suku mayoritas di Negara Indonesia ini. Kejadian yang akhir-akhir ini diperbincangkan yaitu masalah Lumpur lapindo yang terjadi di sidoarjo secara perlahan-lahan tetapi pasti merusak budaya santun yang kita miliki khususnya Jawa. Setelah hampir 2 tahun menanggung penderitaan yang cukup berat dan penuh ketidak pastian, membuat budaya santun tergerus oleh arus Lumpur lapindo.
Luapan-luapan emosi yang terdiri dari beberapa desa yang sudah terendam oleh Lumpur lapindo kini terlihat jelas di wajah mereka, yang dulu nya penuh bersahaja. Setumpuk persoalan yang dihadapi,mulai ketidakjelasan pembayaran ganti rugi,lindapnya sejarah hidup karena tanah kelahiran lenyap, terlebih merasa terasing di pengungsian, membuat wajah-wajah kesederhanaan khas masyarakat desa luntur. Jangan heran ketika umpatan dan kata-kata kasar meloncat dari orang-orang yang merasa terkungkung di Pasar Baru Porong, sebuah kawasan yang selama ini dijadikan tempat pengungsian.Tidak jarang, kata-kata kasar itu keluar di hadapan anak-anak.Tak pelak, sejumlah anak di bawah umur semakin terbiasa dengan budaya kekerasan yang mulai menyeruak di tempat pengungsian. Budaya santun yang makin lama hilang dari seperti hilangnya desa mereka yang terendam Lumpur merambah ke factor kejiwaan.
Jika diamati sistem pengendalian sosial di jawa yang utama adalah menempatkan masyarakat beserta adat istiadatnya secara dominan yang menentukan arah perilaku individu-individu warganya. Kepentingan individu diserasikan secara harmonis dengan kepentingan kolektif atau masyarakat keseluruhan. Masyarakat jiwa dikatagorikan dalam sistem budaya yang mengutamakan nilai keserasian hidup kolektif. Perwujudan dari nilai keserasian hidup dapat dilihat dari praktek kerja bersama yang disebut gotong royong. Kerukunan bersama ini didasarkan oleh “emapat dasar sifat manusia” yaitu simpati, keramahan, keadilan dan kepentingan pribadi yang selaras dengan tatanan social menurut adat istiadat.
Berdasarkan cara berfikir tertentu, manusia jawa memandang nilai hormat dan rukun memiliki makna amat penting dan berharga dalam interaksi dengan sesamanya. Rukun adalah suasana yang dicita-citakan dan diharapkan dapat dipertahankan dalam hubungan social seperti, keluarga, kelompok, komunitas kampong, desa dan kota . Ketika nilai hormat dan rukun dapat dipraktekan maka akan dapat dicapai suasana harmonis, seimbang dan selamat. Suasana selamat adalah keadaan psikologis ketentraman batin yang tenang. Semua prose situ dilandasi oleh nilai-nilai luhur dalam ungkapan jawan yang berbunyi sepi ing pamrih, rame in gawe, mamayu hayuning bawana dalam artian “menjadi bebas dengan kepentingan sendiri, melakukan kewajiban-kewajibannya, memperindah dunia” diterjemahkan oleh Frans Magnis Suseno (1988:38). Agar dapat menjalankan nilai luhur ini, menurut orang jawa di reformulasikan oleh Magnis Suseno (1988: 139-159) orang harus melalui dalil empat sikap yaitu :
- Sikap batin yang tepat
Sikap batin yang tepat dapat diartikan sebagai cara berfikir yang benar dan direalisasikan melalui proses mawas diri yaitu sikap batin untuk intropeksi keadaan diri individu itu sendiri. Hasilnya ialah sikap jawa yang waspada, suatu keadaan yang selalu siap menghadapi segala sesuatu yang mungkin terjadi dan kondisi eling keadaan selalu ingat akan keberadaan dirinya sebagai mahkluk ciptaan tuhan. Orang jawa wajib selalu sadar dari mana asal-usulnya, kewajiban apa yang harus dilakukan, dan kemana arah tujuan hidupnya.
- Tindakan Yang tepat
Sikap batin yang tepat menentukan tindakan yang tepat adalah perwujudan dari ungkapan rame ing gawe atau dharma yang berarti rajin bekerja menjalani kewajiban untuk kepentingan keseluruhan masyarakat yaitu, bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan kesejahteraan manusia pada umumnya. Manakala banyak orang yang telah mampu mawas diri artinya memiliki sikap bathin yang tepat dengan sendirinya orang itu telah bekerja menjalanlankan kewajibannya.
- Tempat yang tepat
Begitu manusia jawa mampu bertindak secara benar berarti ia telah memenuhi kewajiban tugas hidupnya. Tindak tanduk yang ia lakukan merupakan kewajiban social yang sitentukan oleh lingkungan social yang di tempati
- Pengertian yang tepat
Kemampuan manusia untuk memahami bagaimana ia harus bersikap batin yang tepat, bagaimana ia harus bertindak dengan benar, dan dimana ia harus menempatkan diri secara tepat dalam struktur hubungan-hubungan social dengan keselarasan lingkungan alam.
Dua Macam Reaksi Traumatis
Peristiwa traumatis seperti tsunami, lumpur,perkosaan,tabrakan,dan kebakaran hebat biasa mengakibatkan dua macam reaksi psikis. Dalam Diagnostic and Statistical Ma-nual of Mental Disorders (1997), tercatat dua disorders atau kelainan psikis yang diakibatkan antara lain oleh peristiwa traumatis. Yang pertama adalah posttraumatic stress disorder (PTSD) atau kelainan psikis pascatrauma dan kedua adalah acute stress disorder (ASD) atau kelainan psikis akut. Kendati demikian, mayoritas peneliti dan praktisioner seperti mereka di Pusat Kesehatan, New South Wales, Australia (2000) lebih mengutamakan PTSD daripada ASD.Masa berlangsung ASD hanya dua hari sampai satu bulan. Setelah itu, derita psikis akibat peristiwa traumatis itu beralih menjadi PTSD.
ASD sering diabaikan para praktisioner dalam diagnosis karena–– selain masa berlangsung ASD singkat––kedua-duanya selalu didahului oleh gejala umum yang disebut posttraumatic stress reactions (PTSR). Jadi, ASD ”terjepit” antara PTSR dan PTSD. Berliner dan Brier (1999) melalui artikel ”Trauma, memory, and clinical practice” mensinyalir bahwa para korban bisa mengalami brief psychotic disorder( BPD) atau kelainan psikotik yang berdurasi antara satu sampai 30 hari.
PTSR Berlanjut ke Lingkaran Setan
PTSR sebenarnya merupakan gejala umum dan normal dialami setiap orang yang mengalami peristiwa traumatis. PSTR itu terjadi segera setelah peristiwa traumatis berlangsung. Reaksi traumatis di atas dialami hampir setiap korban. Namun, jangan sampai reaksi normal ini berlanjut ke tiga gejala stres yang disebut gejala PTSD. Dalam kasus korban tsunami di Aceh, dalam penelitian tahun lalu penulis menemu-kan bahwa seperempat dari populasi mengalami gejala-gejala tersebut.Banyak penelitian sebelumnya tentang bencana juga me-nemukan angka persentase serupa.
Orang bisa membayangkan bahwa 5.250 dari 21.000 korban lumpur itu akan mengalami lingkaran setan ini jika tidak ditangani dengan tepat. Gejala pertama dari lingkaran setan PTSD adalah ”mengalami kembali” peristiwa tragis itu (re-experiencing). Pengalaman kembali itu sebenarnya lebih bersifat kognitif, yaitu korban itu mengenang kembali derita akibat peristiwa itu. Jika melihat pemicu seperti banjir,becek,air mancur,berita tentang lumpur Lapindo, maka pikiran penderita bergejolak tak keruan. Ia lalu menjadi gelisah. Mengatasi kegelisahan, ia berusaha menghindari (avoidance) gejolak pikiran. Macam-macam upaya dilakukan untuk menghindar dari pikiran kusut. Masalahnya, semakin dihindari, pikiran itu justru semakin mengganggu. Untuk gejala kedua yaitu avoidance of stimuli adalah upaya menghindar yang menetap terhadap hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik dan penumpulan respons terhadap stimulus tersebut.
Gejala ketiga yang disebut hyperarausal alias reaksi spontan berlebihan. Menurut J Jones dan D Barlow (1990),gejala ini sebenarnya merupakan alarm tanda peringatan bagi korban akan adanya pemicu (trigger) atau munculnya gejolak pikiran (reexperiencing). Saat muncul hyperarausal, korban lalu beralih ke mekanisme avoidance. Hyperarausal bisa berbentuk insomnia (susah tidur), waswas, degdegan, latah (tindakan tiba-tiba tanpa pikir panjang).
Untuk dapat menegakkan diagnosis PTSD, simtom-simtom tersebut harus muncul setidaknya 1 bulan setelah terjadi peristiwa traumatic.
Sudut Pandang Psikologis
Ahli psikologi behavioristik berpendapat bahwa PTSD muncul karena adanya proses belajar melalui kondisioning klasik terhadap rasa takut. Sedangkan teori psikodinamika yang dikemukan oleh Horowitz (1986) menyebutkan ingatan tentang peristiwa traumatic muncul secara konstan pada pemikiran seseorang dan sangat menyakitkan sehingga mereka secara sadar menekannya (supresi) atau merepresnya