Dalam pembahasan sebelumnya kita sudah mengerti mengenai kesadaran untuk mengetahui masalah yang terjadi didalam diri sendiri. Tidak hanya kesadaran yang kita butuhkan untuk memberikan sinyal kepada diri ini bahwa memang terjadi masalah yang sekarang ini telah masuk dalam kehidupan kita. Hal yang harus diperhatikan terhadap masalah yang terjadi adalah kejujuran dalam memandang apa akar permasalahan yang terjadi? Didalam kenyataan seringkali kita menyalahkan arti dari kejujuran tersebut. Tak jarang dari kita bahkan seringkali menambahkan bumbu-bumbu dalam mendramatisir masalah yang terjadi.
Hal ini memungkinkan terjadi untuk masalah yang sebenarnya sangat sederhana tetapi karena menyangkut masalah harga diri sering kali dengan kesengajaan menambahkan kalimat-kalimat yang memberikan efek dramatisir. Seolah-olah masalah yang dihadapin sekarang ini berat sekali. Biasanya hal ini dilakukan ketika kita menceritakan masalah dalam kehidupan ini dengan seseorang yang dipercaya.
Dengan berbagi kepada orang lain membuat perasaan ini menjadi kosong dan sangat lega sehingga dapat merefresh kembali jalan pikiran ini. Tetapi apabila pada saat kita bercerita tentang apa yang terjadi dalam hidup ini, kita tak menghiraukan nilai kejujuran tersebut sesungguhnya saat itu kita sedang berhadapan dengan sebuah sosok yang menakutkan yang datang dari diri sendiri yaitu ketidakjujuran dalam memandang setiap masalah.
Ketika kita bercerita untuk menarik banyak simpati dan empati dari lawan bicara sehingga kita membuat ketidak jujuran itu terjadi dalam kehidupan. Sehingga lawan bicara kita saat itu menganggap masalah yang kita hadapi sedemikian beratnya. Jika hal ini kita lakukan maka sesungguhnya tanpa kita sadari sendiri justru amunisi yang kita buat sempurna akan menyerang kembali. Amunisi tersebut adalah efek dramatisir yang terdapat dalam setiap kalimat. Pada saat itu kemungkinan besar memang “Ya” kita mendapat segala rasa simpati bahkan empati. Tetapi kita sesungguhnya tidak pernah menyadari efek dramatisir yang kita ciptakan pada saat itu akan membentuk sebuah persepsi yang baru.
Awalnya masalah itu sangatlah sederhana dan memiliki jalan keluar yang sangat sederhana pula. Tetapi ketika itu kita berusaha meminta pendapat dan nasehat apa yang harus dilakukan terhadap masalah itu. Untuk mendapatkan rasa empati tersebut dengan sengaja memasukkan kalimat-kalimat yang mengundang perasaan tersebut sehingga pada akhirnya lawan bicara kita akan menganggap masalah yang dihadapi saat ini sangat berat. Lawan bicara kita akan meng “Iya” kan bahwa masalah yang kita hadapi berat.
Padahal semua itu kita lakukan hanyalah untuk mendapatkan rasa empati saja. Tanpa kita sadari lama-kelaman ada beberapa pesan yang terkirim untuk alam pikiran ini dan menyatakan bahwa “Ini masalah yang berat” hingga menjadi rumit dan tak mudah dipecahkan. Dengan penggambaran diatas kejujuran menjadi nilai yang sangat penting dalam memandang setiap masalah. Lebih baik kita menghargai diri ini sendiri dengan nilai kejujuran dalam perasaan daripada mengharapkan perasaan empati dari setiap orang. Karena perasaan empati tersebut tidak selamanya memberikan kenyamanan untuk diri ini.
Rasa empati dapat dijadikan amunisi yang mengancam kehidupan ini, jika saat ini masih terbelenggu dalam mengharapkan rasa empati tersebut. Tidak hanya nilai kejujuran dalam memandang masalah yang sebenarnya yang menjadi penting, tetapi nilai kejujuran dalam menyelesaikan masalah merupakan sesuatu yang bijaksana.
Dan sekarang ini terapkanlah nilai kejujuran untuk diri ini sehingga kita dengan mudah dapat mematahkan lidi-lidi yang akan datang. Karena segala persiapan dari nilai kejujuran tersebut telah ada didalam diri ini.