Sore itu, ketika saya waktunya untuk meninggalkan kantor tak biasanya saya naik bis yang bukan saya tumpangi. Bis yang sungguh terkenal di Ibukota Jakarta ini. Hari itu seperti biasa menikmati kepenatan kota Jakarta ini dengan berdiri di depan pintu bis tersebut karena terlalu penuhnya saya tidak bisa merasakan kenyamanan tersebut. Tetapi saya berusaha untuk bersyukur bis tersebut mampu mengangkut saya walupun harus melewati waktu untuk berdesak-desakan.
Saya harus bisa menahan badan ini agar tidak terjatuh karena lajunya bis tersebut, disamping itu saya harus melewati kesempatan bagaimana menyeimbangkan badan dan menopang badan seorang ibu-ibu yang tak terbiasa dengan keadaan ini. Kami mulai terdorong ke sana kemari hingga pada suatu saat saya bisa berada di tempat saya berdiri dengan aman. Tapi ibu tersebut masih berusaha untuk menopang tubuhnya sendiri sesakali dia mengatakan pada saya bahwa dia merasakan kelelahn. Saya berusaha menenangkannya, hingga saya mengambil tindakan untuk meminta tolong kepada salah satu laki-laki yang masih muda yang dari tadi hanya memperhatikan kami saja tanpa melakukan apapun juga untuk dapat memberikan tempat duduknya kepada ibu tersebut.
Dari salah satu pelajaran ini saya baru mengetahui bahwa terkadang seseorang belum tentu mementingkan orang lain walaupun melihat keadaaan didepan matanya sendiri sehingga membutuhkan orang lain untuk mengingatkan. Hati tidak bisa terbuka semudah yang dibayangkan orang lain, terkadang merasa “saya masih membutuhkannya” tetapi tidak melihat orang lain yang lebih membutuhkanya. Begitu juga ketika kita dapat memaknai dengan kehidupan sehari-hari hati yang seperti itu tak bisa lepas dari rasa ingin memiliki seutuhnya tanpa melihat orang lain yang benar-benar membutuhkannya.
Tak jarang saya menemui banyak orang seperti itu lihat saja ketika saya menemui pengemis yang menahan lapar disalah satu restoran. Dia tidak masuk karena disana terdapat tulisan “pengemis dilarang masuk” dia hanya berdiri dan menengadahkan tanganya memandang mereka-mereka yang asyik menikmati santap makan siangnya tanpa menghiraukan bahwa pengemis tersebut membutuhkan makan. Pengemis itu tidak berani untuk berbicara dia hanya menatap dengan rasa ingin ikut serta dalam kenikmatan tersebut. Begitu juga ibu tersebut, dia tidak meminta pemuda itu berdiri tetapi dia berusaha untuk menopang tubuhnya.
Terkadang kemurahan hati ini diuji dengan keadaan seperti tanpa orang lain harus mengatakan bahwa “saya memang butuh” kita yang harus menyadarinya bahwa sesungguhnya kita sanggup menyadari dan berempati dengan hal seperti ini. Suatu saat nanti kemurahan hati ini akan terbalaskan dengan keadaan yang lebih luar biasa lagi. Tapi jangan hati ini justru mengharapkan bahwa kemurahan hati ini akan terbalaskan suatu saat nanti, biarkanlah kemurahan ini tumbuh subur dihati kita. Hingga banyak buah yang akan kita petik suatu saat nanti, buah itu akan terasa sangat manis jika perawatannya baik jika hati ini dirawat dengan baik pula maka kehidupan ini akan terasa sangat indah.
Tanamlah buah dihati kita, hingga suatu saat buah itu akan sangat manis dinikmati. Rawatlah tanaman itu dengan sepenuh hati dengan kesayangan dan kemurahan hati yang kita miliki. Janganlah berharap buah itu akan manis nantinya tapi biarkanlah dia tumbuh bebas dan subur, jika kita tak pernah menantikan buah yang manis. Suatu saat waktu yang akan membuktikan bahwa memang sebenarnya buah yang kita dapatkan memilki rasa manis yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar